Tiga pemuda Dayak dari Kabupaten Murung Raya dengan hiasan tato di badan meliuk-liukkan tubuh sambil memutar mandau. Mereka bertiga berada di atap ruang kemudi jukung, perahu hias yang ikut berlaga pada Festival Budaya Isen Mulang menyambut Hari Jadi Ke-52 Provinsi Kalimantan Tengah, Sabtu (23/5).
Sesekali para pemuda tersebut memekikkan lahap, seruan khas Dayak yang panjang melengking yang terdengar seperti ulu… lu… lu… lu… lu… lu uiiiiiii. Sementara itu, di lantai jukung hias, para gadis Dayak melenggang menari diiringi tetabuhan rancak dari katambung (semacam gendang) dan garantung (gong).
Sekitar 2.000 warga yang memadati gosong tepi sungai di kolong jembatan Sungai Kahayan di Palangkaraya—tempat berlangsungnya lomba jukung hias tersebut—ramai bersorak dan bertepuk melihat atraktifnya para pemuda Dayak dari kabupaten ujung timur laut Kalteng ini.
Selain Murung Raya, ada enam kabupaten dan satu kota lain yang mengirimkan peserta jukung hias dalam Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) ini, yakni Kabupaten Katingan, Gunung Mas, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Lamandau, Barito Utara, dan Kota Palangkaraya.
Masing-masing kontingen menghias jukung dan menampilkan atraksi pendukung yang beragam sesuai dengan legenda atau ritual adat setempat. Menyaksikan atraksi mereka membuktikan bahwa budaya sungai di Kalteng sangat kaya.
Kontingen Kabupaten Katingan, misalnya, menampilkan perahu dengan ornamen naga. Pemilihan naga ini terinspirasi legenda dan kepercayaan leluhur suku Dayak Katingan yang meyakini bahwa naga adalah makhluk suci yang turun dari lewu tatau (surga) ke bumi sebagai penguasa alam semesta di bawah air.
Lain halnya dengan Kabupaten Gunung Mas. Kontingen dari kabupaten yang merupakan salah satu penghasil emas ini menampilkan jukung hias bertema lasang banama tingang. Perahu ini, dalam mitologi Dayak, digunakan oleh sangiang atau roh-roh leluhur untuk mengantar roh orang yang meninggal menuju lewu tatau.
Lasang banama tingang pada saat ini sering dibuat pada acara laluhan atau penyampaian sesaji saat digelar ritual tiwah. Untuk memperindah tampilan, di buritan jukung hias didirikan miniatur air terjun Batu Mahasur yang merupakan salah satu obyek wisata andalan di Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas.
Salah satu dewan juri lomba jukung hias, Offeny Ibrahim, menuturkan, kriteria menangnya lomba tidak diukur dari besarnya jukung. Apalagi, dalam lomba ini ada kontingen yang menampilkan jukung hias dengan memanfaatkan perahu dagang, tetapi ada pula yang menggunakan perahu kelotok.
”Ada yang hiasannya rapi, tapi ternyata itu dicetak menggunakan sablon. Padahal, apabila itu digambar atau diukir secara manual justru akan menambah nilai,” kata Offeny.
Hal yang juga dipertimbangkan untuk memberi poin adalah ketepatan menggunakan warna dekorasi jukung hias. Warna dasar khas Dayak sering disebut dengan lima ba, yakni bahandang (merah), baputi (putih), bahijau (hijau), bahenda (kuning), dan babilem (hitam).
Peserta yang menghias ornamen jukungnya dengan warna biru atau merah muda berarti tidak menggunakan warna dasar khas Dayak. Warna khas Dayak tidak mengenal biru, pun halnya dengan warna yang tergradasi seperti halnya merah muda.
Selain jukung hias, pada ajang FBIM 2009 ini juga digelar lomba besei kambe di Sungai Kahayan. Peserta besei kambe terdiri dari dua regu dengan dua orang di tiap regunya. Kedua regu tersebut beradu punggung dalam satu perahu, dan bersaing kuat-kuatan mendayung ke dua arah berlawanan. Prinsip lomba ini mirip tarik tambang.
Bajik Rubuh Simpei, seorang basir, pemuka agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya, menuturkan, besei kambe memiliki makna bahwa dalam hidup ini akan lebih baik bagi manusia apabila bersatu dan tidak saling berlawanan. Sebuah makna yang patut untuk direnungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar