Rabu, 23 November 2011
kumpulan puisi chairil anwar
PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
(1948)
MALAM
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
20-30 Agustus 1957
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
(1948)
MALAM
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
20-30 Agustus 1957
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Jukung Hias Dayak, Kekayaan Budaya Sungai KalTeng
Tiga pemuda Dayak dari Kabupaten Murung Raya dengan hiasan tato di badan meliuk-liukkan tubuh sambil memutar mandau. Mereka bertiga berada di atap ruang kemudi jukung, perahu hias yang ikut berlaga pada Festival Budaya Isen Mulang menyambut Hari Jadi Ke-52 Provinsi Kalimantan Tengah, Sabtu (23/5).
Sesekali para pemuda tersebut memekikkan lahap, seruan khas Dayak yang panjang melengking yang terdengar seperti ulu… lu… lu… lu… lu… lu uiiiiiii. Sementara itu, di lantai jukung hias, para gadis Dayak melenggang menari diiringi tetabuhan rancak dari katambung (semacam gendang) dan garantung (gong).
Sekitar 2.000 warga yang memadati gosong tepi sungai di kolong jembatan Sungai Kahayan di Palangkaraya—tempat berlangsungnya lomba jukung hias tersebut—ramai bersorak dan bertepuk melihat atraktifnya para pemuda Dayak dari kabupaten ujung timur laut Kalteng ini.
Selain Murung Raya, ada enam kabupaten dan satu kota lain yang mengirimkan peserta jukung hias dalam Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) ini, yakni Kabupaten Katingan, Gunung Mas, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Lamandau, Barito Utara, dan Kota Palangkaraya.
Masing-masing kontingen menghias jukung dan menampilkan atraksi pendukung yang beragam sesuai dengan legenda atau ritual adat setempat. Menyaksikan atraksi mereka membuktikan bahwa budaya sungai di Kalteng sangat kaya.
Kontingen Kabupaten Katingan, misalnya, menampilkan perahu dengan ornamen naga. Pemilihan naga ini terinspirasi legenda dan kepercayaan leluhur suku Dayak Katingan yang meyakini bahwa naga adalah makhluk suci yang turun dari lewu tatau (surga) ke bumi sebagai penguasa alam semesta di bawah air.
Lain halnya dengan Kabupaten Gunung Mas. Kontingen dari kabupaten yang merupakan salah satu penghasil emas ini menampilkan jukung hias bertema lasang banama tingang. Perahu ini, dalam mitologi Dayak, digunakan oleh sangiang atau roh-roh leluhur untuk mengantar roh orang yang meninggal menuju lewu tatau.
Lasang banama tingang pada saat ini sering dibuat pada acara laluhan atau penyampaian sesaji saat digelar ritual tiwah. Untuk memperindah tampilan, di buritan jukung hias didirikan miniatur air terjun Batu Mahasur yang merupakan salah satu obyek wisata andalan di Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas.
Salah satu dewan juri lomba jukung hias, Offeny Ibrahim, menuturkan, kriteria menangnya lomba tidak diukur dari besarnya jukung. Apalagi, dalam lomba ini ada kontingen yang menampilkan jukung hias dengan memanfaatkan perahu dagang, tetapi ada pula yang menggunakan perahu kelotok.
”Ada yang hiasannya rapi, tapi ternyata itu dicetak menggunakan sablon. Padahal, apabila itu digambar atau diukir secara manual justru akan menambah nilai,” kata Offeny.
Hal yang juga dipertimbangkan untuk memberi poin adalah ketepatan menggunakan warna dekorasi jukung hias. Warna dasar khas Dayak sering disebut dengan lima ba, yakni bahandang (merah), baputi (putih), bahijau (hijau), bahenda (kuning), dan babilem (hitam).
Peserta yang menghias ornamen jukungnya dengan warna biru atau merah muda berarti tidak menggunakan warna dasar khas Dayak. Warna khas Dayak tidak mengenal biru, pun halnya dengan warna yang tergradasi seperti halnya merah muda.
Selain jukung hias, pada ajang FBIM 2009 ini juga digelar lomba besei kambe di Sungai Kahayan. Peserta besei kambe terdiri dari dua regu dengan dua orang di tiap regunya. Kedua regu tersebut beradu punggung dalam satu perahu, dan bersaing kuat-kuatan mendayung ke dua arah berlawanan. Prinsip lomba ini mirip tarik tambang.
Bajik Rubuh Simpei, seorang basir, pemuka agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya, menuturkan, besei kambe memiliki makna bahwa dalam hidup ini akan lebih baik bagi manusia apabila bersatu dan tidak saling berlawanan. Sebuah makna yang patut untuk direnungkan.
Sesekali para pemuda tersebut memekikkan lahap, seruan khas Dayak yang panjang melengking yang terdengar seperti ulu… lu… lu… lu… lu… lu uiiiiiii. Sementara itu, di lantai jukung hias, para gadis Dayak melenggang menari diiringi tetabuhan rancak dari katambung (semacam gendang) dan garantung (gong).
Sekitar 2.000 warga yang memadati gosong tepi sungai di kolong jembatan Sungai Kahayan di Palangkaraya—tempat berlangsungnya lomba jukung hias tersebut—ramai bersorak dan bertepuk melihat atraktifnya para pemuda Dayak dari kabupaten ujung timur laut Kalteng ini.
Selain Murung Raya, ada enam kabupaten dan satu kota lain yang mengirimkan peserta jukung hias dalam Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) ini, yakni Kabupaten Katingan, Gunung Mas, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Lamandau, Barito Utara, dan Kota Palangkaraya.
Masing-masing kontingen menghias jukung dan menampilkan atraksi pendukung yang beragam sesuai dengan legenda atau ritual adat setempat. Menyaksikan atraksi mereka membuktikan bahwa budaya sungai di Kalteng sangat kaya.
Kontingen Kabupaten Katingan, misalnya, menampilkan perahu dengan ornamen naga. Pemilihan naga ini terinspirasi legenda dan kepercayaan leluhur suku Dayak Katingan yang meyakini bahwa naga adalah makhluk suci yang turun dari lewu tatau (surga) ke bumi sebagai penguasa alam semesta di bawah air.
Lain halnya dengan Kabupaten Gunung Mas. Kontingen dari kabupaten yang merupakan salah satu penghasil emas ini menampilkan jukung hias bertema lasang banama tingang. Perahu ini, dalam mitologi Dayak, digunakan oleh sangiang atau roh-roh leluhur untuk mengantar roh orang yang meninggal menuju lewu tatau.
Lasang banama tingang pada saat ini sering dibuat pada acara laluhan atau penyampaian sesaji saat digelar ritual tiwah. Untuk memperindah tampilan, di buritan jukung hias didirikan miniatur air terjun Batu Mahasur yang merupakan salah satu obyek wisata andalan di Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas.
Salah satu dewan juri lomba jukung hias, Offeny Ibrahim, menuturkan, kriteria menangnya lomba tidak diukur dari besarnya jukung. Apalagi, dalam lomba ini ada kontingen yang menampilkan jukung hias dengan memanfaatkan perahu dagang, tetapi ada pula yang menggunakan perahu kelotok.
”Ada yang hiasannya rapi, tapi ternyata itu dicetak menggunakan sablon. Padahal, apabila itu digambar atau diukir secara manual justru akan menambah nilai,” kata Offeny.
Hal yang juga dipertimbangkan untuk memberi poin adalah ketepatan menggunakan warna dekorasi jukung hias. Warna dasar khas Dayak sering disebut dengan lima ba, yakni bahandang (merah), baputi (putih), bahijau (hijau), bahenda (kuning), dan babilem (hitam).
Peserta yang menghias ornamen jukungnya dengan warna biru atau merah muda berarti tidak menggunakan warna dasar khas Dayak. Warna khas Dayak tidak mengenal biru, pun halnya dengan warna yang tergradasi seperti halnya merah muda.
Selain jukung hias, pada ajang FBIM 2009 ini juga digelar lomba besei kambe di Sungai Kahayan. Peserta besei kambe terdiri dari dua regu dengan dua orang di tiap regunya. Kedua regu tersebut beradu punggung dalam satu perahu, dan bersaing kuat-kuatan mendayung ke dua arah berlawanan. Prinsip lomba ini mirip tarik tambang.
Bajik Rubuh Simpei, seorang basir, pemuka agama Hindu Kaharingan di Palangkaraya, menuturkan, besei kambe memiliki makna bahwa dalam hidup ini akan lebih baik bagi manusia apabila bersatu dan tidak saling berlawanan. Sebuah makna yang patut untuk direnungkan.
Langganan:
Postingan (Atom)